Rabu, 27 April 2016

HUKUM PERJANJIAN



Hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hokum perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya hokum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat dua pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan suatu hal.
Sedangkan, hukum perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum, hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memerikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan tunttan atau memenuhi tuntutan tersebtu. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perjanjian akan menimbulkan hukum perikatan. Artinya tidak aka nada kesepakatan yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati oleh masing masing pihak.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.Perjanjian adalah sumber perikatan.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
1.      Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
  1. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
  1. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang  oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.  Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
-          Orang yang belum dewasa. Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
·         Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
·         Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
-          Mereka yang berada di bawah pengampuan.
-          Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
-          Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
·         Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian  haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan  ketertiban
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
1.      Pembayaran. Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela.  Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
2.      Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri. Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
3.      Pembaharuan utang atau novasi. Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.  Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
4.      Perjumpaan utang atau Kompensasi. Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.  Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
-          Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
-          Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
-          Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).

5.      Percampuran utang. Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
6.      Pembebasan utang. Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
7.      Musnahnya barang yang terutang. Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
8.      Batal/Pembatalan. Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti  permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi   syarat   subyektif  dapat  dilakukan  dengan  dua  cara, yaitu:
-          Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
-          Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.

9.      Berlakunya suatu syarat batal. Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
10.  Lewat waktu. Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.  Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
  1. Judul/Kepala
  2. Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
  3. Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
  4. Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
  5. Penutup dari Perjanjian.

HUKUM PERJANJIAN YANG DITINJAU DARI SEGI HUKUM PRIVAT DAN HUKUM PUBLIK.

HUKUM PERJANJIAN
Ditinjau dari Hukum Privat

Pengertian Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
A.    Perbuatan,
B.     Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
C.     Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Syarat sahnya Perjanjian

Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1.      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2.      cakap untuk membuat perikatan; Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.

Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
·         Orang-orang yang belum dewasa
·         Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
·         Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).

3.      suatu hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4.      suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Misal: Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
·         TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
·         TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
·         Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
·         Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).

Akibat Perjanjian

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

Berakhirnya Perjanjian
·         ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu
·         undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian
·         para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
·         tertentu maka persetujuan akan hapus.

Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkanadanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam. yaitu : keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur). Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
-          debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata)
-          kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas
-          dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
-          keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.
-          pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja
-          putusan hakim
-          tujuan perjanjian telah tercapai
-          dengan persetujuan para pihak (herroeping).

Ditinjau dari Hukum Publik
Pengertian Perjanjian

Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan.

Syarat sahnya perjanjian

Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan ratifikasi. Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
-          perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral maupun multilateral
-          penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta melalui pemungutan suara
-          kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi. Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
-          persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian, dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a.       penandatanganan, Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan : persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut, bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya, bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui, bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.
b.      pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang berwenang di negara anggota.

Akibat perjanjian

-          Bagi negara pihak : Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
-          Bagi negara lain : Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional). Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.

Berakhirnya perjanjian

1.      sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
2.      atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
3.      akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.

Kesimpulan

Perjanjian, baik ditinjau dari sudut hukum privat maupun publik, sama-sama memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang memperjanjikan jika sudah memenuhi syarat - syarat yang ditentukan untuk dinyatakan sah. Namun berbeda dengan perjanjian yang berlaku dalam lapangan hukum privat yang hanya mengikat kedua belah pihak, dalam lapangan hukum publik perjanjian mengikat bukan hanya kedua belah pihak namun juga pihak ketiga. Selain itu subjek perjanjian dalam lapangan hukum privat adalah individu atau badan hukum, sementara subjek perjanjian dalam lapangan hukum publik adalah subjek hukum internasional yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan pembebasan.

Perbedaan Perikatan dan Perjanjian

Pada prinsipnya perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua pihak saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Berangkat dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian akan menimbulkan perikatan

Daftar pustaka
staffsite.gunadarma.ac.id

ETIKA PROFESI AKUNTANSI (SOFTSKILL) BAB 8,9,10

BAB 8 Etika dalam Akuntansi Keuangan dan Akuntansi Manajemen Tanggung jawab Akuntan Keuangan dan Akuntan Manajemen Etika dalam ...