Jumat, 20 November 2015

SOFTSKILL



PERKEMBANGAN PERBANKAN
DI INDONESIA


Kondisi dunia perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini selain disebabkan oleh perkembangan internal dunia perbankan, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan di luar dunia perbankan, seperti sektor riil dalam perekonomian, politik, hukum dan sosial. Perkembangan faktor- faktor internal dan eksternal perbankan tersebut menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan dalam empat periode. Masing – masing periode memiliki ciri – ciri khusus yang tidak dapat di samakan dengan periode lainnya.

Serangkaian paket – paket deregulasi di sector riil dan moneter yang di mulai sejak tahun 1980- an serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an adalah dua peristiwa utama yang telah menyebabkan munculnya empat periode kondisi perbankan di Indonesia sampai dengan tahun 2000.

Keempat periode ini adalah
·         Kondisi perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket- paket deregulasi di sector rill dan moneter yang di mulai sejak tahun 1980-an.
·         Kondisi perbankan di Indonesia setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa sebelum terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1990-an.
·         Kondisi perbankan di Indonesia pada masa krisis ekonomi sejak akhir tahun 1990-an.
·         Kondisi perbankan di Indonesia pada saat sekarang ini.


1.      Kondisi Sebelum Deregulasi

Perbankan pada masa ini sangat di pengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik dari penguasa , yang dalam hal ini adalah pemerintah. Pada masa colonial kegiatan perbankan di wilayah Hindia- Belanda ini terutama di arahkan untuk melayani kegiatan usaha dari perusahaan – perusahaan besar milik kolonial di wilayah jajahannya serta membantu administrasi anggaran milik pemerintah.

Dengan demikian fungsi utama perbankan pada masa penjajahan adalah :
-          Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan – perusahaan besar milik colonial
-          Memberikan jasa- jasa keuangan kepada perusahaan – perusahaan besar milik kolonial, seperti giro, garansi bank, pemindahan dana dan lain- lain
-          Membantu pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke Negara penjajah
-          Sebagai tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak, baik pajak dari perusahaan – perusahaan maupun dari masyarakat pribumi, untuk kemudian dikirim ke negara penjajah.
-          Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah kaolonial.

Fungsi utama perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya deregulasi tidak banyak mengalami perubahan. Orientasi kegiatan perbankan masih banyak dipengaruhi oleh pola yang diterapkan pada masa penjajahan. Dengan demikian fungsi utamanya adalah:
-          Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan – perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
-          Memberikan jasa- jasa keuangan kepada perusahaan- perusahaan besar
-          Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah
-          Menyalurkan dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor- sektor yang ingin di kembangkan oleh pemerintah

 Bank – bank yang ada tidak secara tegas di arahkan untuk memobilisasikan dana seluas- luasnya dari seluruh anggota masyarakat, dan juga tidak diarahkan untuk mengembangkan perekonomian rakyat seluas- luasnya. Kebijakan yang terkait dengan sektor perbankan hanya ditekanakan pada kegitan usaha- usaha besar dan program- program pemerintah. Selain karena pola kebijakan otoritas moneter pada waktu itu yang belum mementingkan mobilisasi dari dana masyarakat luas, keadaan diatas juga disebabkan oleh belum adanya perangkat peraturan dan perundang- undangan yang secara khusus mengatur dunia perbankan.

Secara lebih rinci keadaan perbankan saat itu adalah sebagai berikut:
-          Tidak adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia
-          Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank- bank tertentu
-          Bank banyak menanggung program-program pemerintah d. Instrumen pasar uang yang terbatas
-          Jumlah Bank Swasta yang relatif sedikit
-          Sulitnya Pendirian bank baru
-          Persaingan antar bank yang tidak ketat
-           Posisi tawar- menawar bank yang relative lebih kuat daripada nasabah
-          Prosedur berhubungan dengan bank rumit
-          Bank bukan merupakan alternative utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan memimjam dana
-          Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah

Beberapa bank asing yang melakukan operasinya, yaitu :
1.         De Bankcourant yang didirikan pada tanggal 1 September 1752
2.         De Javasche Bank yang didirikan pada tahun 1828
3.         Nederlandsch Indische Escompto Maatschapij, Nederlandsch Indische Handelsbank, dan Nederlandsche Handel Maatschapij mulai beroperasi berturut-turut pada tahun 1857, 1864, dan 1883
4.         De Bank van Leening, pada tanggal 20 Agustus 1746.
5.         The Chartered Bank of India, Australia and China, Batavia tahun 1862
6.         Hongkong and Shanghai Banking Corporation, Batavia tahun 1884
7.         Yokohama-Specie Bank, Batavia tahun 1919
8.         Taiwan Bank, tahun 1915, Batavia, Semarang, dan Surabaya
9.         China and Southern Ltd., Batavia tahun 1920
10.      Mitsui Bank, Surabaya tahun 1925
11.      Overseas China Banking Corporation, Batavia tahun 1932

A.    Deregulasi 1 juni 1983
Memberikan keleluasaan kepada semua bank untuk menyerahkan tingkat suku bunga kepada mekanisme pasar.

B.     Deregulasi Oktober 1988
Memberi keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin meningkatkan statusnya menjadi bank devisa, membuka kemungkinan pendirian bank campuran (kerjasama dengan bank asing) dan memberi kesempatan bagi bank asing untuk membu­ka kantor cabang pembantu di kota-kota tertentu.

C.     Deregulasi 25 Maret 1989 (penyempurnaan Pakto’88)
Memberi kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka menengah dan panjang.

D.    Deregulasi Januari 1990
untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK)

E.     Deregulasi 25 Februari 1991
Pakfeb ini ditentukan tingkat kesehatan bank yang menyangkut kecukupan modal (CAR), pembatasan pemberian kredit yang tidak didukung oleh dana masyarakat (LDR), persyaratan kepemilikan dan kepengurusan, ketentuan legal lending limit dan pembentukan cadangan untuk menutupi resiko.

F.      Deregulasi 29 Mei 1993
Pakmei ditujukan untuk mendorong kelancaran ekspansi kredit perbankan dengan memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada perbankan.


2.      Kondisi Setelah Deregulasi

Tingkat inflasi yang tinggi serta kondisi ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan kondisi perbankan yang tidak dapat memobilisasi dana dengan baik. Fenomena yang terjadi pada masa sebelum deregulasi tersebut seolah- olah menjadi suatu lingkaran yang tidak ada ujung pangkalnya serta saling mempengaruhi.

Untuk mengatasi situasi ynag serba tidak mengunungkan ini cara yang ditempuh pemerintah pada waktu itu adalah dengan melakukan serangkaian kebijakan berupa deregulasi di sektor rill dan moneter. Pada tahap awal deregulasi lebih cepat dampaknya pada sektor moneter melalui serangkaian perubahan di dunia perbankan. Meskipun istilah yang digunakan adalah “deegulasi” tidak berarti bahwa perubahan yang dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau pengaturan di dunia perbankan. Perubahan yang terjadi juga termasuk peningkatan pengaturan pada bidang- bidang tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat diartikan sebagai perubahan- perubahan yang dimotori oleh otoritas moneter untuk meningkatkan kinerja dunia perbankan, dan pada akhinya juga diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor rill.

Kebijakan deregulasi yang telah dilakukan dan terkait dengan dunia perbankan, antara lain adalah:

·         Paket 1 Juni1983 yang berisi tentang

1)      Penghapusan pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrumen pengendali Jumlah Uang Beredar (JUB).
2)      Pengurangan KLBI kecuali untuk sektor- sektor tertentu.
3)      Pemberian kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk sektor- sektor tertentu.
·         Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI
·         Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI.
·         Paket 27 Oktober 1988 yang berisi tentang:
1)      Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi :
-          Kemudahan pembukaan kantor bank
-          Bank pemerintah, bank pembangunan daerah, bank swasta nasional dan bank koperasi dapat membuka cabang di seluruh wilayah Indonesia.
-          Pembukaan kantor cabang pembantu cukup dilakukan denganmemberi tahu Bank Indonesia
-          Kejelasan pendirian bank swasta
-          Modal di setor bank umum minimal 10 miliar
-          Modal di setor BPR minimal Rp 50 juta
-          BPR dapat ditingkatkan menjadi bank umum
-          BPR dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan.
-          Pembukaan kemungkinan untuk mendirikan bank campuran antara bank nasional dengan bank asing
-          Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank bisa menerbitkan sertifikat deposito tanpa memerlukan izin
-          Semua bank dapat memberikan layanan Tabanas dan tabungan lainnya.

2)      Efisiensi Lembaga Keuangan yang meliputi :
-          BUMN dan BUMD bukan bank dapat menempatkan sampai dengan 50 % dananya pada bank nasional manapun
-          Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bagi bank dan lembaga keuangan bukan bank

3)      Pengendalian Kebijakan moneter yang meliputi:
-          Likuiditas wajib minimum perbankan dan lembaga keuangan bukan bank diturunkan dari 15 % menjadi 2 % dari jumlh dana pihak ketiga
-          SBI dan SBPU yng semula hanya berjangka waktu 7 hari, sekarang di tambah dengan berjangka waktu sampai dengan 6 bulan
-          Batas maksimum pinjaman antarbank ditiadakan

4)      Pengembangan pasar modal, yang meliputi :
-          Bunga deposito berjangka dan sertifikat deposito dikenakan pajak penghasilan sebesar 15 % agar dunia perbankan mendapat perlakuan yang sama dengan pasar modal
-          Penangguhan pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga tabungan
-          Perluasan modal bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilakukan dengan prnjualan saham baru melalui pasar modal di samping peningktan penyertaan oleh pemegang saham.

·         Paket 20 Desember 1988 yang berisi tentang :
1)      Aturan peyelenggaraan bursa efek oleh swasta
2)      Alternatif sumber pembiyaan berupa sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura,perdagangan surat berharga, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen
3)      Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat melakukan kegiatan perdagangan surat berharga, anjak piutang , kartu kredit, dan pembiayaan konsumen.
4)      Kesempatan pendirian perusahaan asuransi kerugian, asuransi jiwa, reasuransi, broker asuransi, adjuster asuransi, dan aktuaria.

·         Paket 25 Maret 1989 yang berisi tentang :
1)      Penyempurnaan paket sebelumnya
2)      Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat memiliki net open position maksimum sebesar 25 % dari modal sendiri.

·         Paket 29 Januari 1990 yang berisi tentang penyempurnaan program perkreditan kepada usaha kecil agar dilakukan secara luas oleh semua bank.

·         Paket 28 Februari 1991 yang berisi tentang penyempurnaan paket sebelumnya menuju penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip kehati- hatian, sehingga dapat tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan i. UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

·         Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi:
1)      Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio)
2)      Batas maksimum pemberian kredit (BMPK)
3)      Kredit Usaha Kecil (KUK)
4)      Pembentukan cadangan piutang
5)      Rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio)

Serangkaian kebijakan di atas telah mengakibaykan banyak perubahan dalam perbankan di Indonesia. Ciri-ciri kondisi perbankan pada masa sebelum deregulasi sudah tidak dapat ditemui lagi pada masa setelah deregulasi, sehingga pada masa setelah deregulasi ini perbankan di Indonesia mempunyai ciri- ciri sebagian berikut:
ü  Peraturan yang memberikan kepastian hukum
ü  Jumlah bank swasta bertambah banyak
ü  Tingkat persaingan bank semakin kuat
ü  Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang
ü  Kepercayaan masyarakat terhadap bank yang meningkat
ü  Monilisasi dana melalui sektor perbankan yang semakin besar

Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Pemberian izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal Rp 100 juta.
Namun demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para 3 pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan. Dalam Pakto 1988, juga dibuka kesempatan untuk mendirikan bank umum dan bank pembangunan baik yang berbadan hukum perseroan terbatas maupun koperasi dengan syarat yang  lebih sederhana, suatu bank dapat didirikan dengan modal 10 milyar rupiah.
Paket kebijaksanaan ini juga menentukan bahwa bank swasta nasional, bank perkreditan rakyat  (BPR), termasuk lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP), dapat didirikan  di luar ibukota negara, ibu kota propinsi dan ibukota Dati II, serta dapat berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
Kebijaksanaan baru tersebut juga memberi keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin meningkatkan statusnya menjadi bank devisa (melayani transaksi devisa), membuka kemungkinan pendirian bank campuran (join kerjasama dengan bank asing) dan memberi kesempatan bagi bank asing untuk membu­ka kantor cabang pembantu di kota-kota tertentu.
Di samping kemudahan-kemudahan tersebut, disempurnakan juga ketentuan mengenai kewajiban bank untuk memelihara likuiditas minimum baik dalam rupiah maupun valuta asing, yaitu dari 15 persen  menjadi 2 persen yang juga berlaku bagi LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank. Misalnya seperti perusahaan financing yang bentuk usahanya bukan bank).
Untuk penyempurnaan Pakto 88, dikeluarkan Paket 25 Maret 1989 yang antara lain memuat ketentuan-ketentuan penilaian kesehatan bank hasil merger, komponen modal untuk perhitungan capital adequacy lebih diperjelas, ketentuan mengenai lending limit dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka menengah dan panjang.  Berbagai kemudahan tersebut berdampak cukup luas kalau tidak mengatakan peletak landasan baru bagi industri perbankan di Indonesia.
Kalangan investor/swasta tertarik untuk berekspansi dalam industri perbankan. Sebagai akibatnya perkembangan bank swasta nasional mengalami per­tumbuhan yang sangat pesat dan laju pertumbuhannya telah mampu mematahkan dominasi bank pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya bermunculan bank-bank baru dan juga pembukaan kantor-kantor bank, terutama oleh bank swasta.  Pada tahun tersebut banyak kelompok-kelompok perusahaan besar mendirikan bank-bank baru. Kelompok usaha Bakrie misalnya, mendirikan Nusa Bank, Subentra Group mendirikan Bank Subentra, Jaya Group mendirikan Jaya Bank serta bebera­pa kelompok perusahaan lainnya.
Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.
Tabel 1. Perkembangan Bank di Indonesia, 1988-1993
Tahun
Kantor Bank Pemerintah
Kantor Bank Swasta

Pusat
Cabang
Pusat
Cabang
1988
7
852
104
876
1989
7
922
141
1656
1990
7
1018
164
2545
1991
7
1044
185
3203
1992
7
1066
201
3341
1993*
7
1066
213
3382
Sumber  : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993 .
Dari segi penghimpunan dana masyarakat, perbankan Indo­nesia juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi terutama pada  tahun 1989-90.  Pada tahun 1989, jumlah dana yang berhasil dihimpun meningkat 45 persen dibanding tahun sebelumnya, mencapai 54,4 triliun rupiah.  Pada tahun 1990, jumlah dana yang dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9 persen  atau 121.7 persen  dari tahun 1988. Hal yang sama juga terjadi pada penyaluran kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan melonjak 44,5 persen menjadi  63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70 triliun rupiah atau meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem likuiditas tersebut ternyata menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated) dan menimbulkan pengaruh semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar meningkat tajam sebesar 23,4 persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990. Demikian juga tingkat inflasi hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada 1990 dan tetap pada tingkat yang sama pada 1991 (Tabel 2).
Tabel 2 . Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
Tahun
Deposit
Kredit
Uang Beredar
Inflasi (%)
1988
37.510
44.001
33.885
6.10
1989
54.375
63.606
41.998
5.97
1990
83.154
97.696
58.704
9.53
1991
95.118
113.608
84.630
9.52
1992
114.850
123.689
119.053
4.94
1993*
117.636
124.922
123.161
6.59
Sumber  : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993
Keadaan ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter pada tahun 1990.  Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK).  Pada tahun yang sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di samping itu juga pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik dana dari masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut membawa  dampak peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat Berharga Pasar Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi peningkatan tajam tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen, tingkat bunga SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga interbank dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.

3.      Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1977

Deregulasi dan penerapan kebijakan- kebijakan lain yang terkait dengan sektor moneter dan rill telah menyebabkan sektor perbankan lebih mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja ekonomi makro di Indonesia. Mobilisasi dana melalui perbankan menjadi lebih besar dan perbankan menjadi lebih besar peran sertanya dalam menunjang kegiatan di sektor rill melalui peningkatan produksi barang dan jasa. Deregulasi di atas ternyata kurang diimbangi dengan manajemen resiko perbankan yang baik. Perkembangan perbankan yang cukup lama untuk dapat mengangkat Indomesia menjadi Negara dengan tingkat kesejahteraan yang sama dengan negara- negara lain di Asia Tenggara. Perkembangan ini dalam waktu yang sangat singkat menjadi terhenti dan bahkan mengalami kemunduran total akibat adanya krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an. Krisis ekonomi yang pada awalnya hanya dipandang sebagai krisis moneter ini banyak menyebabkan perubahan dalam kondisi perbankan di Indonesia, sehingga kondisinya saat masa itu adalah sebagai berikut:
ü  Tingkat kepercayaan masyarakat Dalam dan Luar Negri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastis
ü  Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat
ü  Adanya Spread negative
ü   Munculnya penggunaan peraturan perundangan yang baru
ü  Jumlah bank menurun


Kondisi Terakhir

Tiga hal penting menandai kondisi terakhir sektor perbankan di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah:
ü  Selesainya peyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Munculnya API ini dipicu oleh adanya krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai tahun 1997. Salah satu landasan penting penyusunan API ini adalah usaha Bank Indonesia untuk menerapkan 25 Barel Core Princioles.
ü  Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk membentuk atau menyusun:
-          Lembaga penjamin simpanan - Lembaga Pengawas perbankan yang independent
-          Otoritas Jasa keuangan
ü  Kinerja perbankan yang lebih menunjukkan kondisi masa peralihan atau awal masa pemulihan dari krisis ekonomi ke arah kondisi perbankan yang lebih sesuai dengan praktik- praktik perbankan yang lebih baik. Praktik perbankan yang lebih baik ini antara lain mengrah kepada:
-          Manajemen Pengelolaan resiko yang baik.
-          Struktur perbankan nasional yang lebih baik.
-          Penerapan prinsip kehati- hatian (prudential banking) yang konsisten
-          Penyaluran dana masyarakat kea rah yang lebih mencerminkan bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary) dengan tetap berlandaskan prinsip kehati- hatian.










DAFTAR PUSTAKA


Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993;

ETIKA PROFESI AKUNTANSI (SOFTSKILL) BAB 8,9,10

BAB 8 Etika dalam Akuntansi Keuangan dan Akuntansi Manajemen Tanggung jawab Akuntan Keuangan dan Akuntan Manajemen Etika dalam ...