Hukum perjanjian sering diartikan
sama dengan hokum perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan batasan definisi
pada kata perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya hokum perjanjian dilakukan
apabila dalam sebuah peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain
atau terdapat dua pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan
suatu hal.
Sedangkan, hukum perikatan dilakukan
apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum, hubungan ini memberikan hak
dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memerikan hak dan kewajiban
kepada masing-masing pihak untuk memberikan tunttan atau memenuhi tuntutan
tersebtu. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum
perjanjian akan menimbulkan hukum perikatan. Artinya tidak aka nada kesepakatan
yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati oleh
masing masing pihak.
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang
disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing
pihak.Perjanjian adalah sumber perikatan.
Azas-azas
Hukum Perjanjian
Ada
beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua
diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui,
yaitu:
1.
Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul
telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam
perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
- Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Syarat
Sahnya Perjanjian
Dalam
Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak
yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian
yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
- Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai
kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan
perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian yakni:
-
Orang yang belum dewasa. Mengenai
kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
·
Menurut Pasal 330 KUH Perdata:
Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun
atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
·
Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1
tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang
Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun,
sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
-
Mereka yang berada di bawah
pengampuan.
-
Orang perempuan dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan,
ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
-
Semua orang yang dilarang oleh
Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Mengenai suatu hal
tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai
suatu obyek tertentu.
·
Suatu sebab yang halal, yaitu
isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
Hapusnya
suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Pembayaran. Adalah
setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara
sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan
hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang
kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam
pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena
pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri. Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si
berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur
menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk
mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau
barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan
Negeri. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka
barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada
Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
3. Pembaharuan utang atau novasi. Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan
suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara
melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur,
krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
4. Perjumpaan utang atau Kompensasi. Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan
memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara
kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur,
sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang
satu dengan lainnya.
Menurut
pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak
membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi,
kecuali:
-
Apabila penghapusan/pelunasan itu
dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
-
Apabila dituntutnya pengembalian
barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
-
Terdapat sesuatu utang yang
bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita
(alimentasi).
5. Percampuran utang. Adalah
apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang
(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu
percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur
menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal
oleh krediturnya.
6. Pembebasan utang. Menurut
pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi
kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
7. Musnahnya barang yang terutang. Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian
musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak
diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang
tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
8. Batal/Pembatalan. Menurut
pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat
antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan
pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu
tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut
Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi
syarat subyektif dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu:
-
Secara aktif menuntut pembatalan
perjanjian tersebut di depan hakim;
-
Secara pembelaan maksudnya adalah
menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru
mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
9. Berlakunya suatu syarat batal. Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu
syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala
sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
10. Lewat waktu. Menurut
pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang
bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa
dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut,
maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
STRUKTUR
PERJANJIAN
Struktur
atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
- Judul/Kepala
- Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
- Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
- Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
- Penutup dari Perjanjian.
HUKUM
PERJANJIAN YANG DITINJAU DARI SEGI HUKUM PRIVAT DAN HUKUM PUBLIK.
HUKUM PERJANJIAN
Ditinjau dari
Hukum Privat
Pengertian
Perjanjian
Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini
mengandung unsur :
A.
Perbuatan,
B.
Satu
orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu
perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan
saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut
adalah orang atau badan hukum.
C.
Mengikatkan
dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak
yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada
akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Syarat sahnya
Perjanjian
Agar suatu
Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1.
sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya
kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau
kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama
mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan
perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak
hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW).
Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan
tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2.
cakap
untuk membuat perikatan; Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu
dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan
karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam
undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW
menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
·
Orang-orang
yang belum dewasa
·
Mereka
yang ditaruh dibawah pengampuan
·
Orang-orang
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang
perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari
perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum
(Pasal 1446 BW).
3.
suatu
hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika
tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya
barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan
berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari
dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara
tegas.
4.
suatu
sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan
pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal
demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Syarat pertama
dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai
obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap
untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat
dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi,
maka perjanjian batal demi hukum.
Misal: Dalam
melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan
suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
·
TPK
sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier
sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur
paksaan terhadap kedua belah pihak.
·
TPK
dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan,
tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
·
Barang
yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
·
Tujuan
perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan
tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat
kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).
Akibat
Perjanjian
Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari
Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan
ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat
perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan
membawa kerugian kepada pihak ketiga.
Berakhirnya
Perjanjian
·
ditentukan
oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu
·
undang-undang
menentukan batas berlakunya perjanjian
·
para
pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
·
tertentu
maka persetujuan akan hapus.
Peristiwa
tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur
dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan
dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang
disebabkanadanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena
adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi
menjadi dua macam. yaitu : keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana
debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh
karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur).
Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
-
debitur
tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata)
-
kreditur
tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas
-
dari
kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam
Pasal 1460 KUH Perdata.
-
keadaan
memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih
mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus
dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan
kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya
kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban
resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan
debitur.
-
pernyataan
menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah
pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara
misalnya perjanjian kerja
-
putusan
hakim
-
tujuan
perjanjian telah tercapai
-
dengan
persetujuan para pihak (herroeping).
Ditinjau dari
Hukum Publik
Pengertian
Perjanjian
Dalam Hukum
Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional Saat
ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan
yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara.
Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional
yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum
internasional lainnya. Sampai tahun 1969, pembuatan
perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan.
Syarat sahnya
perjanjian
Berbeda dengan
perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya
kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian
naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian itu sah,
tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan
ratifikasi. Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
-
perundingan
dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral maupun multilateral
-
penerimaan
naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah
perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari
semua peserta melalui pemungutan suara
-
kesaksian
naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal
yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi. Pasal
10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah
perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam
konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan
membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
-
persetujuan
mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara
tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian,
dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a.
penandatanganan,
Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan : persetujuan negara untuk diikat suatu
perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut, bila
perjanjian itu sendiri yang menyatakannya, bila terbukti bahwa negara-negara
yang ikut berunding menyetujui, bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan
demikian atau dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.
b.
pengesahan,
melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang
berwenang di negara anggota.
Akibat
perjanjian
-
Bagi
negara pihak : Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian
yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad
baik atau in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ
negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin
pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
-
Bagi
negara lain : Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak
boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional
dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat
memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara
ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang
menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan
asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan
internasional). Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional
dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka
dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.
Berakhirnya
perjanjian
1.
sesuai
dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
2.
atas
persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
3.
akibat
peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan
kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum
internasional yang baru, perang.
Kesimpulan
Perjanjian, baik
ditinjau dari sudut hukum privat maupun publik, sama-sama memiliki kekuatan
mengikat bagi para pihak yang memperjanjikan jika sudah memenuhi syarat -
syarat yang ditentukan untuk dinyatakan sah. Namun berbeda dengan perjanjian
yang berlaku dalam lapangan hukum privat yang hanya mengikat kedua belah pihak,
dalam lapangan hukum publik perjanjian mengikat bukan hanya kedua belah pihak
namun juga pihak ketiga. Selain itu subjek perjanjian dalam lapangan hukum privat
adalah individu atau badan hukum, sementara subjek perjanjian dalam lapangan
hukum publik adalah subjek hukum internasional yaitu negara, organisasi internasional
dan gerakan-gerakan pembebasan.
Perbedaan
Perikatan dan Perjanjian
Pada prinsipnya
perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan yang lain berkewajiban memenuhi
tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain, atau dimana dua pihak saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Berangkat dari definisi di atas maka dapat disimpulkan
bahwa suatu perjanjian akan menimbulkan perikatan
Daftar pustaka
staffsite.gunadarma.ac.id
BalasHapusHalo,
Perkenalkan, Nama saya Wenny
Saya adalah development dari ForexMart, Kami melihat website anda dan kami ingin mendiskusikan kerjasama kemitraan dengan Anda.
Boleh saya minta kontaknya untuk menjelaskan lebih lanjut atau anda bisa langsung menghubungi saya ke wenny@forexmart.com, terimakasih