PERKEMBANGAN
PERBANKAN
DI
INDONESIA
Kondisi
dunia perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dari waktu ke
waktu. Perubahan ini selain disebabkan oleh perkembangan internal dunia
perbankan, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan di luar dunia
perbankan, seperti sektor riil dalam perekonomian, politik, hukum dan sosial.
Perkembangan faktor- faktor internal dan eksternal perbankan tersebut
menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan
dalam empat periode. Masing – masing periode memiliki ciri – ciri khusus yang
tidak dapat di samakan dengan periode lainnya.
Serangkaian
paket – paket deregulasi di sector riil dan moneter yang di mulai sejak tahun
1980- an serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an
adalah dua peristiwa utama yang telah menyebabkan munculnya empat periode
kondisi perbankan di Indonesia sampai dengan tahun 2000.
Keempat
periode ini adalah
·
Kondisi
perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket- paket deregulasi di sector
rill dan moneter yang di mulai sejak tahun 1980-an.
·
Kondisi
perbankan di Indonesia setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa sebelum
terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1990-an.
·
Kondisi
perbankan di Indonesia pada masa krisis ekonomi sejak akhir tahun 1990-an.
·
Kondisi
perbankan di Indonesia pada saat sekarang ini.
1.
Kondisi
Sebelum Deregulasi
Perbankan
pada masa ini sangat di pengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik
dari penguasa , yang dalam hal ini adalah pemerintah. Pada masa colonial
kegiatan perbankan di wilayah Hindia- Belanda ini terutama di arahkan untuk
melayani kegiatan usaha dari perusahaan – perusahaan besar milik kolonial di
wilayah jajahannya serta membantu administrasi anggaran milik pemerintah.
Dengan
demikian fungsi utama perbankan pada masa penjajahan adalah :
-
Memobilisasikan
dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja
perusahaan – perusahaan besar milik colonial
-
Memberikan
jasa- jasa keuangan kepada perusahaan – perusahaan besar milik kolonial,
seperti giro, garansi bank, pemindahan dana dan lain- lain
-
Membantu
pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke Negara penjajah
-
Sebagai
tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak, baik pajak dari perusahaan –
perusahaan maupun dari masyarakat pribumi, untuk kemudian dikirim ke negara
penjajah.
-
Mengadministrasikan
anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah kaolonial.
Fungsi
utama perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya
deregulasi tidak banyak mengalami perubahan. Orientasi kegiatan perbankan masih
banyak dipengaruhi oleh pola yang diterapkan pada masa penjajahan. Dengan
demikian fungsi utamanya adalah:
-
Memobilisasikan
dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja
perusahaan – perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
-
Memberikan
jasa- jasa keuangan kepada perusahaan- perusahaan besar
-
Mengadministrasikan
anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah
-
Menyalurkan
dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor- sektor yang ingin
di kembangkan oleh pemerintah
Bank – bank yang ada tidak secara tegas di
arahkan untuk memobilisasikan dana seluas- luasnya dari seluruh anggota
masyarakat, dan juga tidak diarahkan untuk mengembangkan perekonomian rakyat
seluas- luasnya. Kebijakan yang terkait dengan sektor perbankan hanya
ditekanakan pada kegitan usaha- usaha besar dan program- program pemerintah.
Selain karena pola kebijakan otoritas moneter pada waktu itu yang belum
mementingkan mobilisasi dari dana masyarakat luas, keadaan diatas juga
disebabkan oleh belum adanya perangkat peraturan dan perundang- undangan yang
secara khusus mengatur dunia perbankan.
Secara
lebih rinci keadaan perbankan saat itu adalah sebagai berikut:
-
Tidak
adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur secara jelas tentang
perbankan di Indonesia
-
Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank- bank tertentu
-
Bank
banyak menanggung program-program pemerintah d. Instrumen pasar uang yang
terbatas
-
Jumlah
Bank Swasta yang relatif sedikit
-
Sulitnya
Pendirian bank baru
-
Persaingan
antar bank yang tidak ketat
-
Posisi tawar- menawar bank yang relative lebih
kuat daripada nasabah
-
Prosedur
berhubungan dengan bank rumit
-
Bank
bukan merupakan alternative utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan
memimjam dana
-
Mobilisasi
dana lewat perbankan yang sangat rendah
Beberapa bank asing yang melakukan operasinya,
yaitu :
1.
De Bankcourant yang didirikan pada
tanggal 1 September 1752
2.
De Javasche Bank yang didirikan pada
tahun 1828
3.
Nederlandsch Indische
Escompto Maatschapij, Nederlandsch
Indische Handelsbank, dan Nederlandsche Handel Maatschapij mulai beroperasi berturut-turut
pada tahun 1857, 1864, dan 1883
4.
De
Bank van Leening, pada tanggal 20 Agustus 1746.
5.
The Chartered Bank of India, Australia
and China, Batavia tahun 1862
6.
Hongkong and Shanghai Banking
Corporation, Batavia tahun 1884
7.
Yokohama-Specie
Bank, Batavia tahun 1919
8.
Taiwan
Bank, tahun 1915, Batavia, Semarang, dan Surabaya
9.
China and Southern Ltd., Batavia tahun
1920
10.
Mitsui Bank, Surabaya tahun 1925
11.
Overseas China Banking Corporation,
Batavia tahun 1932
A. Deregulasi 1 juni 1983
Memberikan
keleluasaan kepada semua bank untuk menyerahkan tingkat suku bunga kepada
mekanisme pasar.
B. Deregulasi Oktober 1988
Memberi
keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin meningkatkan statusnya menjadi
bank devisa, membuka kemungkinan pendirian bank campuran (kerjasama dengan bank
asing) dan memberi kesempatan bagi bank asing untuk membuka kantor cabang
pembantu di kota-kota tertentu.
C. Deregulasi 25 Maret 1989
(penyempurnaan Pakto’88)
Memberi
kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan dana pada
lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka menengah dan
panjang.
D. Deregulasi Januari 1990
untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank
Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada
kredit usaha kecil (KUK)
E. Deregulasi 25 Februari
1991
Pakfeb ini ditentukan tingkat kesehatan bank yang menyangkut
kecukupan modal (CAR), pembatasan pemberian kredit yang tidak didukung oleh
dana masyarakat (LDR), persyaratan kepemilikan dan kepengurusan,
ketentuan legal lending limit dan pembentukan cadangan untuk
menutupi resiko.
F.
Deregulasi 29 Mei 1993
Pakmei ditujukan untuk mendorong kelancaran
ekspansi kredit perbankan dengan memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada
perbankan.
2.
Kondisi
Setelah Deregulasi
Tingkat
inflasi yang tinggi serta kondisi ekonomi makro secara umum yang tidak bagus
terjadi bersamaan dengan kondisi perbankan yang tidak dapat memobilisasi dana
dengan baik. Fenomena yang terjadi pada masa sebelum deregulasi tersebut
seolah- olah menjadi suatu lingkaran yang tidak ada ujung pangkalnya serta
saling mempengaruhi.
Untuk
mengatasi situasi ynag serba tidak mengunungkan ini cara yang ditempuh
pemerintah pada waktu itu adalah dengan melakukan serangkaian kebijakan berupa
deregulasi di sektor rill dan moneter. Pada tahap awal deregulasi lebih cepat
dampaknya pada sektor moneter melalui serangkaian perubahan di dunia perbankan.
Meskipun istilah yang digunakan adalah “deegulasi” tidak berarti bahwa
perubahan yang dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau
pengaturan di dunia perbankan. Perubahan yang terjadi juga termasuk peningkatan
pengaturan pada bidang- bidang tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat
diartikan sebagai perubahan- perubahan yang dimotori oleh otoritas moneter untuk
meningkatkan kinerja dunia perbankan, dan pada akhinya juga diharapkan akan
meningkatkan kinerja sektor rill.
Kebijakan
deregulasi yang telah dilakukan dan terkait dengan dunia perbankan, antara lain
adalah:
·
Paket
1 Juni1983 yang berisi tentang
1) Penghapusan pagu kredit dan
pembatasan aktiva lain sebagai instrumen pengendali Jumlah Uang Beredar (JUB).
2) Pengurangan KLBI kecuali untuk
sektor- sektor tertentu.
3) Pemberian kebebasan bank untuk
menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk sektor- sektor
tertentu.
·
Bank
Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI
·
Bank
Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas
diskonto oleh BI.
·
Paket
27 Oktober 1988 yang berisi tentang:
1) Pengerahan dana masyarakat, yang
meliputi :
-
Kemudahan
pembukaan kantor bank
-
Bank
pemerintah, bank pembangunan daerah, bank swasta nasional dan bank koperasi
dapat membuka cabang di seluruh wilayah Indonesia.
-
Pembukaan
kantor cabang pembantu cukup dilakukan denganmemberi tahu Bank Indonesia
-
Kejelasan
pendirian bank swasta
-
Modal
di setor bank umum minimal 10 miliar
-
Modal
di setor BPR minimal Rp 50 juta
-
BPR
dapat ditingkatkan menjadi bank umum
-
BPR
dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan
tabungan.
-
Pembukaan
kemungkinan untuk mendirikan bank campuran antara bank nasional dengan bank
asing
-
Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank bisa menerbitkan sertifikat deposito tanpa
memerlukan izin
-
Semua
bank dapat memberikan layanan Tabanas dan tabungan lainnya.
2) Efisiensi Lembaga Keuangan yang
meliputi :
-
BUMN
dan BUMD bukan bank dapat menempatkan sampai dengan 50 % dananya pada bank
nasional manapun
-
Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bagi bank dan lembaga keuangan bukan bank
3) Pengendalian Kebijakan moneter yang
meliputi:
-
Likuiditas
wajib minimum perbankan dan lembaga keuangan bukan bank diturunkan dari 15 %
menjadi 2 % dari jumlh dana pihak ketiga
-
SBI
dan SBPU yng semula hanya berjangka waktu 7 hari, sekarang di tambah dengan
berjangka waktu sampai dengan 6 bulan
-
Batas
maksimum pinjaman antarbank ditiadakan
4) Pengembangan pasar modal, yang
meliputi :
-
Bunga
deposito berjangka dan sertifikat deposito dikenakan pajak penghasilan sebesar
15 % agar dunia perbankan mendapat perlakuan yang sama dengan pasar modal
-
Penangguhan
pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga tabungan
-
Perluasan
modal bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilakukan dengan prnjualan
saham baru melalui pasar modal di samping peningktan penyertaan oleh pemegang
saham.
·
Paket
20 Desember 1988 yang berisi tentang :
1) Aturan peyelenggaraan bursa efek
oleh swasta
2) Alternatif sumber pembiyaan berupa
sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura,perdagangan surat berharga, kartu
kredit, dan pembiayaan konsumen
3) Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
dapat melakukan kegiatan perdagangan surat berharga, anjak piutang , kartu kredit,
dan pembiayaan konsumen.
4) Kesempatan pendirian perusahaan
asuransi kerugian, asuransi jiwa, reasuransi, broker asuransi, adjuster
asuransi, dan aktuaria.
·
Paket
25 Maret 1989 yang berisi tentang :
1) Penyempurnaan paket sebelumnya
2) Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
dapat memiliki net open position maksimum sebesar 25 % dari modal sendiri.
·
Paket
29 Januari 1990 yang berisi tentang penyempurnaan program perkreditan kepada
usaha kecil agar dilakukan secara luas oleh semua bank.
·
Paket
28 Februari 1991 yang berisi tentang penyempurnaan paket sebelumnya menuju
penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip kehati- hatian, sehingga dapat
tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan i. UU No
7 Tahun 1992 tentang Perbankan
·
Paket
29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi:
1) Rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio)
2) Batas maksimum pemberian kredit
(BMPK)
3) Kredit Usaha Kecil (KUK)
4) Pembentukan cadangan piutang
5) Rasio pinjaman terhadap dana pihak
ketiga (loan to deposit ratio)
Serangkaian kebijakan di atas telah
mengakibaykan banyak perubahan dalam perbankan di Indonesia. Ciri-ciri kondisi
perbankan pada masa sebelum deregulasi sudah tidak dapat ditemui lagi pada masa
setelah deregulasi, sehingga pada masa setelah deregulasi ini perbankan di
Indonesia mempunyai ciri- ciri sebagian berikut:
ü Peraturan yang memberikan kepastian
hukum
ü Jumlah bank swasta bertambah banyak
ü Tingkat persaingan bank semakin kuat
ü Sertifikat Bank Indonesia dan Surat
Berharga Pasar Uang
ü Kepercayaan masyarakat terhadap bank
yang meningkat
ü Monilisasi dana melalui sektor
perbankan yang semakin besar
Pada
tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi
perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto
88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan
1971–1972. Pemberian izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun
1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor
cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal
ringan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia
perbankan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan
untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah
mencapai minimal Rp 100 juta.
Namun
demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan
kebebasan dan kemudahan oleh para 3 pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan
Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank bank sekunder seperti
bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah
menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Tujuan
pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan
untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping
untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan. Dalam Pakto 1988, juga dibuka
kesempatan untuk mendirikan bank umum dan bank pembangunan baik yang berbadan
hukum perseroan terbatas maupun koperasi dengan syarat yang lebih
sederhana, suatu bank dapat didirikan dengan modal 10 milyar rupiah.
Paket
kebijaksanaan ini juga menentukan bahwa bank swasta nasional, bank perkreditan
rakyat (BPR), termasuk lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP), dapat
didirikan di luar ibukota negara, ibu kota propinsi dan ibukota Dati II,
serta dapat berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
Kebijaksanaan
baru tersebut juga memberi keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin
meningkatkan statusnya menjadi bank devisa (melayani transaksi devisa), membuka
kemungkinan pendirian bank campuran (join kerjasama dengan bank asing) dan
memberi kesempatan bagi bank asing untuk membuka kantor cabang pembantu di
kota-kota tertentu.
Di
samping kemudahan-kemudahan tersebut, disempurnakan juga ketentuan mengenai
kewajiban bank untuk memelihara likuiditas minimum baik dalam rupiah maupun
valuta asing, yaitu dari 15 persen menjadi 2 persen yang juga berlaku
bagi LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank. Misalnya seperti perusahaan financing
yang bentuk usahanya bukan bank).
Untuk
penyempurnaan Pakto 88, dikeluarkan Paket 25 Maret 1989 yang antara lain memuat
ketentuan-ketentuan penilaian kesehatan bank hasil merger, komponen modal untuk
perhitungan capital adequacy lebih diperjelas, ketentuan mengenai lending limit
dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan
dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka
menengah dan panjang. Berbagai kemudahan tersebut berdampak cukup luas
kalau tidak mengatakan peletak landasan baru bagi industri perbankan di
Indonesia.
Kalangan
investor/swasta tertarik untuk berekspansi dalam industri perbankan. Sebagai
akibatnya perkembangan bank swasta nasional mengalami pertumbuhan yang sangat
pesat dan laju pertumbuhannya telah mampu mematahkan dominasi bank pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya bermunculan bank-bank baru dan
juga pembukaan kantor-kantor bank, terutama oleh bank swasta. Pada tahun
tersebut banyak kelompok-kelompok perusahaan besar mendirikan bank-bank baru.
Kelompok usaha Bakrie misalnya, mendirikan Nusa Bank, Subentra Group mendirikan
Bank Subentra, Jaya Group mendirikan Jaya Bank serta beberapa kelompok
perusahaan lainnya.
Memasuki
tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi
ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992
dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi
perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
UU
Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian
pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan
tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan
pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman
pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada
Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada
periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu
meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan
berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu
program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari
Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan
Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit
macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit
adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan.
Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka,
dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang
sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian
Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan
utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei
1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang
sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada
upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras
ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi.
Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.
Tabel 1.
Perkembangan Bank di Indonesia, 1988-1993
Tahun
|
Kantor Bank Pemerintah
|
Kantor Bank Swasta
|
||
Pusat
|
Cabang
|
Pusat
|
Cabang
|
|
1988
|
7
|
852
|
104
|
876
|
1989
|
7
|
922
|
141
|
1656
|
1990
|
7
|
1018
|
164
|
2545
|
1991
|
7
|
1044
|
185
|
3203
|
1992
|
7
|
1066
|
201
|
3341
|
1993*
|
7
|
1066
|
213
|
3382
|
Sumber
: Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan :
sampai Maret 1993 .
Dari
segi penghimpunan dana masyarakat, perbankan Indonesia juga mengalami
pertumbuhan yang sangat tinggi terutama pada tahun 1989-90. Pada
tahun 1989, jumlah dana yang berhasil dihimpun meningkat 45 persen dibanding
tahun sebelumnya, mencapai 54,4 triliun rupiah. Pada tahun 1990, jumlah
dana yang dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9 persen atau 121.7
persen dari tahun 1988. Hal yang sama juga terjadi pada penyaluran
kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan melonjak 44,5 persen
menjadi 63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70 triliun rupiah atau
meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem likuiditas tersebut
ternyata menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated) dan menimbulkan
pengaruh semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar meningkat tajam sebesar
23,4 persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990. Demikian juga tingkat inflasi
hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada 1990 dan tetap pada tingkat yang sama
pada 1991 (Tabel 2).
Tabel 2 .
Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di
Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
Tahun
|
Deposit
|
Kredit
|
Uang Beredar
|
Inflasi (%)
|
1988
|
37.510
|
44.001
|
33.885
|
6.10
|
1989
|
54.375
|
63.606
|
41.998
|
5.97
|
1990
|
83.154
|
97.696
|
58.704
|
9.53
|
1991
|
95.118
|
113.608
|
84.630
|
9.52
|
1992
|
114.850
|
123.689
|
119.053
|
4.94
|
1993*
|
117.636
|
124.922
|
123.161
|
6.59
|
Sumber
: Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan :
sampai Maret 1993
Keadaan
ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter
pada tahun 1990. Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk
membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank
membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK). Pada
tahun yang sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan
uang ketat (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa
bank untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di
samping itu juga pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) untuk menarik dana dari masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut
membawa dampak peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat
Berharga Pasar Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi
peningkatan tajam tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen,
tingkat bunga SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga
interbank dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.
3.
Kondisi
Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1977
Deregulasi
dan penerapan kebijakan- kebijakan lain yang terkait dengan sektor moneter dan
rill telah menyebabkan sektor perbankan lebih mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan kinerja ekonomi makro di Indonesia. Mobilisasi dana melalui
perbankan menjadi lebih besar dan perbankan menjadi lebih besar peran sertanya
dalam menunjang kegiatan di sektor rill melalui peningkatan produksi barang dan
jasa. Deregulasi di atas ternyata kurang diimbangi dengan manajemen resiko
perbankan yang baik. Perkembangan perbankan yang cukup lama untuk dapat
mengangkat Indomesia menjadi Negara dengan tingkat kesejahteraan yang sama
dengan negara- negara lain di Asia Tenggara. Perkembangan ini dalam waktu yang
sangat singkat menjadi terhenti dan bahkan mengalami kemunduran total akibat
adanya krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an. Krisis ekonomi
yang pada awalnya hanya dipandang sebagai krisis moneter ini banyak menyebabkan
perubahan dalam kondisi perbankan di Indonesia, sehingga kondisinya saat masa
itu adalah sebagai berikut:
ü Tingkat kepercayaan masyarakat Dalam
dan Luar Negri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastis
ü Sebagian besar bank dalam keadaan
tidak sehat
ü Adanya Spread negative
ü Munculnya penggunaan peraturan perundangan
yang baru
ü Jumlah bank menurun
Kondisi
Terakhir
Tiga
hal penting menandai kondisi terakhir sektor perbankan di Indonesia. Ketiga hal
tersebut adalah:
ü Selesainya peyusunan Arsitektur
Perbankan Indonesia (API). Munculnya API ini dipicu oleh adanya krisis
perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai tahun 1997. Salah
satu landasan penting penyusunan API ini adalah usaha Bank Indonesia untuk
menerapkan 25 Barel Core Princioles.
ü Serangkaian rencana dan komitmen
pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk membentuk atau menyusun:
-
Lembaga
penjamin simpanan - Lembaga Pengawas perbankan yang independent
-
Otoritas
Jasa keuangan
ü Kinerja perbankan yang lebih
menunjukkan kondisi masa peralihan atau awal masa pemulihan dari krisis ekonomi
ke arah kondisi perbankan yang lebih sesuai dengan praktik- praktik perbankan
yang lebih baik. Praktik perbankan yang lebih baik ini antara lain mengrah
kepada:
-
Manajemen
Pengelolaan resiko yang baik.
-
Struktur
perbankan nasional yang lebih baik.
-
Penerapan
prinsip kehati- hatian (prudential banking) yang konsisten
-
Penyaluran
dana masyarakat kea rah yang lebih mencerminkan bank sebagai perantara keuangan
(financial intermediary) dengan tetap berlandaskan prinsip kehati- hatian.
DAFTAR PUSTAKA
Statistik
Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar